Di tengah derasnya perkembangan dunia digital, mahasiswa menjadi salah satu kelompok yang paling akrab dengan internet. Dari perkuliahan, hiburan, sampai transaksi harian, semuanya dilakukan secara daring. Tidak heran bila berbagai fenomena digital—termasuk porno online—menjadi bagian dari realitas yang mereka hadapi setiap hari. Dalam riset lapangan kecil yang dilakukan di beberapa kampus, gambaran persepsi mahasiswa terhadap konten porno online ternyata jauh lebih kompleks dari sekadar “akses atau tidak akses”.
Menariknya, muncul juga temuan yang memperlihatkan bahwa pola konsumsi digital mahasiswa sering tumpang tindih: seseorang yang mengakses streaming film, misalnya, bisa juga terpapar iklan yang mengarah ke situs berisiko seperti judi online atau konten dewasa. Artinya, persepsi mereka bukan hanya tentang porno online itu sendiri, tetapi juga tentang ekosistem digital yang kadang terasa seperti hutan belantara penuh jebakan.
1. Antara Rasa Penasaran dan Literasi Digital
Sebagian besar responden mengaku pertama kali mengetahui porno online pada masa SMP atau SMA, sering kali bukan karena dicari, tetapi karena tautan acak, grup chat, atau iklan liar. Ketika memasuki dunia kampus, akses menjadi lebih mudah—wifi kampus, kuota murah, laptop pribadi—tetapi persepsi mereka mulai berubah.
Mahasiswa dengan literasi digital lebih baik umumnya memandang porno online sebagai konten yang sebaiknya dihadapi dengan sikap kritis. Mereka menyadari risiko adiksi, distorsi persepsi tentang hubungan romantis, hingga kemungkinan pelanggaran privasi dan keamanan data. Ada pula yang menyoroti bagaimana industri konten dewasa dapat berpotensi menormalisasi ekspektasi tidak realistis terhadap tubuh dan hubungan.
Namun sebagian lainnya menganggap porno online hanyalah hiburan digital biasa, sejajar dengan game, media sosial, atau video pendek. Kelompok ini biasanya tidak menempatkan pornografi sebagai isu moral, melainkan sebagai bagian dari kebebasan individu di dunia modern.
2. Lingkungan Kampus dan Normalisasi Percakapan
Walaupun akses semakin mudah, percakapan tentang porno online di lingkungan kampus masih punya nuansa tabu. Banyak mahasiswa mengaku membicarakannya hanya dalam lingkaran pertemanan tertentu yang sudah saling percaya. Di kelas, topik ini jarang muncul, kecuali dalam mata kuliah psikologi, komunikasi, atau kajian gender.
Anehnya, meskipun topiknya tabu, candaan soal porno sering muncul dalam percakapan santai mahasiswa. Inilah yang disebut beberapa dosen sebagai “normalisasi tidak sadar”: porno online menjadi bagian dari lelucon, referensi budaya pop, atau sekadar bahan obrolan iseng, meski pembahasan seriusnya tetap dianggap sensitif.
3. Risiko yang Tidak Disadari: Dari Keamanan Data hingga Paparan Iklan Berbahaya
Salah satu temuan paling menarik dalam riset ini adalah betapa banyak mahasiswa tidak menyadari risiko keamanan yang muncul saat membuka situs asing, termasuk situs porno online. Mereka sering tidak sadar bahwa:
-
banyak situs dewasa menyisipkan malware, pelacak, atau pop-up yang mengarah ke platform berisiko,
-
beberapa iklan menampilkan tautan menuju situs judi online ilegal,
-
data pribadi dapat terkumpul melalui cookie tanpa mereka sadari.
Persepsi mahasiswa terhadap risiko ini sangat beragam. Ada yang merasa aman karena memakai mode incognito, padahal itu tidak mencegah pengumpulan data oleh situs. Ada pula yang percaya diri karena menggunakan VPN, meski tidak yakin apakah VPN gratis yang dipakai justru mengambil data mereka.
4. Antara Moral, Kebutuhan Informasi, dan Kontrol Diri
Dalam diskusi kelompok kecil, mahasiswa membagi diri menjadi tiga kategori besar:
-
Mereka yang menolak porno online karena alasan moral atau agama.
-
Mereka yang mengonsumsi secara selektif—biasanya untuk alasan rasa ingin tahu atau edukasi seksual alternatif.
-
Mereka yang menganggapnya sebagai bagian dari ekspresi bebas dan hiburan digital.
Yang menarik, kelompok kedua paling vokal dalam menyuarakan pentingnya pendidikan seks yang sehat. Mereka merasa bahwa tanpa pendidikan formal yang memadai, mahasiswa sering menjadikan porno online sebagai sumber referensi. Padahal, ini bisa menciptakan kesalahpahaman mengenai hubungan, persetujuan, dan komunikasi antar pasangan.
5. Kesimpulan: Mahasiswa Melek Digital, tetapi Belum Tentu Melek Risiko
Riset lapangan ini menunjukkan bahwa mahasiswa Indonesia bukanlah konsumen pasif. Mereka memiliki pandangan yang beragam, kritis, dan kadang lucu terkait porno online. Namun, ada satu benang merah: kesadaran risiko masih kurang, terutama risiko terkait privasi, manipulasi digital, dan keterpaparan konten lain seperti judi online.
Di tengah derasnya arus internet, mahasiswa sebenarnya punya modal besar: akses ke pendidikan, kemampuan belajar mandiri, dan lingkungan yang memungkinkan diskusi. Tantangannya adalah bagaimana meningkatkan literasi digital agar konsumsi konten—apa pun bentuknya—selalu disertai kesadaran, tanggung jawab, dan pemahaman yang matang.